Desember, ia
kembali. Semerbaknya memenuhi tiap sel-sel, sendi-sendi, hingga mendarah
daging pada tubuhku. Bangsat kau!
Ragamu, rasamu, pun seluruhmu bukan lagi aku. Lantas kenapa aku yang menjelma
tumbal?
Belum genap sehari,
merutuki hadirmu tak henti-henti kuhadiahi pada hari. Adalah luka-luka yang tak
terdefenisi, perihal menyambut bulan sebelum januari. Adalah bagian-bagian
paling sulit ku lalui, selepas kau pergi. Entah aku yang tak siap berdiri, atau
kau yang terus mendorongku hingga tersungkur lagi. Aku tidak mengerti, belum
sanggup langkahku melarikan diri. Berulangkali kukatakan, aku tidak benci. Tapi
kenapa selalu kau lagi?
Kau di sana
bahagia, sedang aku di sini sendirian terluka. Tertatih memaksakan langkah ini
agar terhindar dari serpihan yang tertinggal, terlunta harus memilih arah mana
agar tak lagi tersesat.
Kenang, kenangan,
ken(angan).
Serupa mantera;
fragmen tentangmu memutar, memainkan tiap rangkaian cerita yang pernah ada. Langkahmu
yang memudar itu, membuatku mencecap pahitnya kenang; serupa racun yang
perlahan membunuhku, ingatan sialan tak tahu diri itu terus saja memamerkan perannya
tanpa pernah tahu luka yang hampir sembuh itu kini basah kembali.
Aku lelah memaki,
seolah aku yang paling tersakiti. Sedang kau, menikmati. Aku mencoba berbesar
hati, aku percaya pergimu bukan karena kau tak inginku lagi, melainkan aku bukan
lagi yang menjadi rumah tempatmu berbagi. Tidak, tidak ada yang baik-baik saja
dari perpisahan tanpa kompromi. Aku, kau, kita memiliki luka yang harus diobati
sendiri-sendiri. Bukankah setiap orang memiliki sedih yang tak dapat dibagi?
Ini harus jadi kali
terakhir menjerumuskan hati, aku ingin membebaskan diri. Untuk yang kesekian
kali, perihal yang tak bisa satu lagi, aku berhenti. Terima kasih atas tiap
coretan sketsa yang terpantri. Seperti kata Sapardi, yang fana adalah waktu,
kenangan kita abadi.
Komentar
Posting Komentar