KRITIK SASTRA DEKONSTRUKSI PUISI SEPISAUPI KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI



Lead
Dalam kehidupan nyata kita sering sekali bertemu dengan manusia-manusia yang dihantui rasa bersalah akibat dari dosa yang telah diperbuatnya. Dan sebab rasa bersalah yang terus menghantuinya, manusia itu merasa dirinya perlahan-lahan dibunuh kesunyian dan kesepian. Banyaknya dosa yang dilakukan membuatnya resah dan banyaknya dosa sama dengan seberat dirinya sehingga ia menyadari kejahatannya dan memohon ampun atas dosa-dosanya sehingga ia dapat merasakan kebahagiaan setelah dosa dosanya diampuni.

Penafsiran Puisi Sepisaupi
Sepisau luka sepisau duri merupakan bentuk luka yang yang teramat sangat yang pernah dialami, penggambaran dari dosa yang telah dilakukan dan membuat penyesalan yang mendalam, karena dosa yang telah dilakukan membuat perenungan dalam kesendirian, ketika kesendirian itu yang dirasakan hanyalah penyesalan sepisaupa sepisaupi pelukisan akan pisau dan sepi seolah-olah kesendirian yang menyakitkan, sepisapanya sepikau sepi disini tak ada lagi sapaan kerena kesepian yang telah dialami.
Sepisaupa sepisaupi pengulangan kata ini adalah penguatan tentang kesepian, sepikul diri keranjang duri adalah siksaan kesepian yang dialami sendiri dan harus ditanggung olehnya tanpa seorangpun yang membantu, sepisaupa sepisaupi penguatan kesepian yang dialami terulang-ulang sampai akhir yang selalu mendramatisir kisah kesendirian ini, sampai pisauNya ke dalam nyanyi kesedihan akan kesepian selalu menghantui diri selamanya seakan-akan irama kesepian bagai lagu dalam hati.
Analisis Puis Sepisuapi dengan Pendekatan Dekonstruksi
            Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Dekonstruksi merupakan bentuk pengingkaran atau penolakan terhadap makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale. Berikut bentuk kritik dekonstruksi puisi Sepisaupi karya Sutardji Calzoum Bachri:

Sepisaupi
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(O, Amuk, Kapak, 1981)

Judul sajak ini terdengar seperti mantra. Namun, pembaca yang awas langsung melihat kata “sepi” dan “pisau” dalam mantra ini, yang akan terus-menerus terulang dalam bait-bait sajak selanjutnya, yang sekaligus menyarankan ketegangan yang tak kunjung sudah antara makna dan tanpa-makna. Demikian juga kata “sepisau” bisa dibaca se + pisau, tetapi juga bisa dilihat sebagai peleburan kata “sepi & pisau”. “Sepi & pisau” itu mengiris-menikam sampai luka, menusuk seperti duri, menekan bagai sepikul beban dalam dosa namun tetap saja memukau, sepisau itu membawa duka membuat risau, bahkan merasuk sampai ke dalam nyanyi (bait I).
Kalau demikian apa daya? Penyair meninggalkan ruang makna dan meloncat ke dalam mantra dan berteriak “Sepisaupa sepisaupi” (bait II larik 1). Bahkan, dalam tenung mantra ini “sepi & pisau” itu tetap hadir di relung “sepisaupa sepisaupi”
Ketegangan antara makna dan tanpa-makna tidak kunjung terselesaikan dalam sebuah sintesa ala Hegel, melainkan dibiarkan hidup dalam ketegangan tanpa akhir menurut dekonstruksi ala Derrida. Ketegangan itu lubuk risau tapi juga sumber daya-cipta sang penyair. “Sepisapanya sepikau sepi” (bait II larik 2): Sepisapanya bisa dibaca sebagai sepi + sapa + nya, tetapi bisa juga merupakan fusi dari sepi + siapa + punya, sedangkan sepikau bisa dibaca sepi + kau atau se + pikau (yang berarti berteriak lantang tak keruan). Maka, larik itu menyiratkan: Sepi siapa punya atau pun sepimu itu tetaplah sepi yang menjerit lantang tak keruan antara makna dan tanpa-makna “Sepisaupa sepisaupi” (bait II larik 3), yang akhirnya menjadi beban eksistensial yang mesti ditanggung sendiri (sepikul diri) betapapun menusuk seperti sekeranjang duri (bait II larik 4).

Dalam bait III:
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi

Sang penyair yang mabuk dalam tenung tiga kali meneriakkan mantra sepisaupa sepisaupi dan toh antara sadar dan tak-sadar tetap merasa “sampai pisauNya ke dalam nyanyi”. Pada akhirnya pengalaman eksistensial akan pisau sepi itu serentak merupakan pengalaman religius akan pisauNya yang tidak membiarkan aku berpuas diri, menusuk sampai ke dalam nyanyi.
Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal.
Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.
Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis "kakekkakek", "bocahbocah", atau "terkekehkekeh". Atau "minumminum", "senyumsenyum", "jingkrakjingkrak" dan "nyanyinyanyi".
Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.

Komentar