Dia; seperti bintang yang bisa menghilang di
tengah langit gelap dengan tiba-tiba. Dan bisa muncul dengan cahaya terangnya
tanpa aba-aba. (Satu Hari di Bulan November)
Aku terus saja terluka setiap kau memilih kembali, sebab
hingga kini belum kutemui alasan untuk berhenti. Kau yang bersamanya, namun
tetap tak ingin menghilangkan keberadaanku. Siapa yang harus disalahkan kini?
Aku, kau, atau kita yang egois? Aku tak ingin disebut sebagai simpananmu, sebab
pada kenyataannya aku yang lebih dulu bersamamu. Dia hadir ditengah euforia kebahagiaan
kita, dia yang tak pernah tau adanya aku, pelan-pelan membawamu pada dilema
perasaan. Kau katakan; kau mencintainya, pun kau mencintaiku. Lalu aku
bertanya; bagaimana bisa mencintai dua hati dalam satu waktu? Dan kau hanya
bisa diam.
Bulan semakin tinggi, malam semakin larut, kulirik jam
dinding yang menggantung didekat meja kasir – pukul 23:23 malam. Desir angin
malam menyapa tubuh kita yang diselimuti hening panjang, kita masih disini; di
sudut paling sepi. Sudah hampir empat jam kita disini, di meja paling pojok
sebuah kedai kopi – tempat favorit kita sejak lima tahun lalu. Kau masih
mengenggam erat tanganku tanpa berniat melepasnya sedetik pun, begitu pun aku
enggan untuk melepaskannya. Ku pandangi wajah kokoh yang lima tahun belakangan
selalu menemaniku. Aku sangat mengenalmu, sangat. Kau adalah sosok lelaki yang
sangat menghargai cinta. Lelaki yang begitu kolot dalam hal mencintai, yang
hatinya sangat sulit untuk jatuh ke sembarang hati.
“Aku saja yang pergi” – kataku memecah keheningan.
“...” – kamu mengangkat kepalamu yang
tertunduk lesu sembari menatapku sedih.
“Kamu tahu, aku tidak pernah bisa marah
padamu. Aku tidak akan menyalahkanmu, kamu tahu kan?” – kataku lagi sembari
tersenyum menahan diri agar tidak menangis didepanmu.
“Tapi aku tidak ingin kamu pergi, aku
mencintaimu. Aku ingin kamu tetap disini.” – akhirnya kamu menyuarakan isi
hatimu.
“Aku tidak bisa seperti ini, bagiku cinta
tidak akan bisa terbagi. Jika kamu benar mencintaiku, kamu tidak akan mungkin
mencintainya juga. Aku sadar, kini keberadaanku sudah digantikan oleh senyum
yang lain. Aku tak apa, izinkan aku pergi saja. Berjanjilah padaku, kamu akan
bahagia dengannya.” – kutarik tanganku dari genggamanmu, pergi meninggalkanmu
yang masih diam mematung, mencoba mencerna perkataanku.
Sejak malam itu, aku memutuskan segala bentuk komunikasi
denganmu. Aku menon-aktifkan semua sosial media yang berhubungan denganmu,
mengabaikan berpuluh-puluh panggilan serta pesan masuk darimu. Bahkan aku
resign dari pekerjaanku dan lari dari
kota yang menyimpan banyak kenangan tentang kita. Kamu tahu kenapa aku tidak
marah padamu? Kamu tahu kenapa aku begitu mudah merelakanmu? Jangan kira aku
tidak marah, aku marah. Aku marah pada diriku sendiri, karena tidak mampu
mempertahankan milikku. Aku tidak rela, sungguh. Tapi melihat matamu
memancarkan bahagia yang teramat sangat ketika bersamanya, membuatku terpaksa
merelakanmu. Jangan berpikir ini mudah untukku, tanpamu adalah bagian tersulit.
Bagaimana mungkin semesta bercanda sehebat ini, membuat
rotasi kita bersinggungan, lalu membuat kita berhadapan dengan beragam pilihan
serta keputusan. Kita adalah potongan resah yang tersublin dalam ego yang
paling naif, membeku hingga membentuk konstelasi waktu; sebuah rentetan cerita
yang tersebar dalam setiap diksi yang berusaha semesta rangkai.
Aku mengerti setiap pertemuan yang tercipta sejatinya
memang membawa masing-masing kita untuk selangkah lebih dekat dengan sebuah
perpisahan. Aku tahu meninggalkan atau ditinggalkan adalah sebuah hal paling mutlak
yang akan terjadi. Aku tidak pernah menyesal mencintaimu seperti ini, memilih
untuk tetap diam; diam-diam mendoakanmu, diam-diam memperhatikanmu, hingga
akhirnya diam-diam melepaskanmu.
Komentar
Posting Komentar