Kritik Sastra Strukturalisme Cerpen Hujan Karya Sutardji Calzoum Bachri



KRITIK SASTRA STRUKTURALISME CERPEN HUJAN KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Oleh

Mustika Ramadhani

Dalam kritik sastra kali ini penulis akan mengkritik sebuah karya sastra dari Sutardji Calzoum Bachri berupa cerpen yang berjudul Hujan dengan pendekatan Strukturalisme. Sebelum masuk pada analisis, penulis akan menjelaskan pengertian analisis kritik sastra strukturalisme terlebih dahulu.
Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-strukturnya. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan-susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu. (Hawkes, 1978:17-18).
Cerpen ini mengisahkan tentang gadis kecil yang kesepian. Ayesha gadis yang muda belia dan jujur. Ia pada suatu waktu ditinggal ibunya pergi berbelanja, kemudian ketiduran dan terbangun oleh hujan. Ayesha pada awalnya melihat hujan, kemudian perlahan-lahan ia tertarik kepada hujan. Ia pun bersahabat  dengan hujan dan menjadi bagian penting dari hujan tersebut dan begitu pula sebaliknya. Begitu asyiknya Ayesha pada akhirnya ibunya melihat Ayesha yang mengembara dengan pikirannya.
Kisah yang bertema keadaan alam ini menggunakan alur maju. Seperti pada kutipan: Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar.
Peristiwa dalam cerpen Hujan ini mengisahkan seorang anak gadis yang begitu menyukai hujan. Jika kita telaaah lebih dalam kita akan menemukan latar belakang mengapa gadis tersebut begitu menyukai hujan. Bermula karena kebenciannya pada matahari. Seperti pada kutipan: Bermula karena merajuk kepada matahari, ia beranjak senang pada hujan. Itu ketika usia lima tahunan, ketika ikut-ikutan ibunya memindahkan anak tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk redam dibantai panas siang.
Kisah dengan memakai latar sebuah rumah di dalam kamar dan kesepian ini mengetengahkan bagaimana memaknai kehidupan ini melalui hujan. Seperti pada kutipan: Terpagut pada tari hujan, Ayesha mulai bersijingkat ke tengah ruangan dan segera melangkahkan tarian. Lantas, jemari-jemari kakinya meniti-niti tari sambil membiarkan tempias tari di lantai. Maka, lantai ruangan ikut basah dengan tarian. Dalam puncak hujan tariannya itu, tiba-tiba pintu di buka dari luar. Ayesa tersentak dan putuslah tariannya.
Pengarang memakai sudut pandang orang ketiga untuk menggambarkan penokohan serta perwatakan dalam cerpen tersebut. Ayesha adalah seorang anak yang pintar. Ini dapat kita lihat pada kutipan berikut: Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap keluar. Guru mula-mula kesal. Tapi akhirnya dibiarkan. Bagaimanapun ia anak yang pintar.
Gaya personifikasi, simile dan hiperbola menjadi gaya khas bahasa yang digunakan dalam cerpen ini untuk menarik pembaca. Seperti pada kutipan:
1.      Personifikasi, ini terlihat saat pengarang memjadikan benda mati seakan-akan bernyawa, berprilaku seperti manusia. Hal ini terlihat pada kutipan seperti; (a) Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya lelap di kamar. (b) Dan iapun kini paham, hujan diluar mengajak bangkit hujan yang didalam dirinya, nyanyi hujan di atap, lambayan hujan pada dedaunan, dan laki-laki hujan di halaman terus memanggil-manggil. (c) lihatlah, hujan meloncat-loncat dari ranting keranting dan menjadi ranting hujan.
2.      Simile, ini terlihat saat pengarang menggunakan Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dan lain-lain. Hal ini terlihat pada kutipan seperti; bagai angsa mengarungi telaga, ia pun asik melayarkan tari.
3.      Hiperbola, terlihat saat pengarang melebih-lebihkan kenyataan, sehingga kenyataan tersebut tidak menjadi masuk akal. Terlihat pada kutipan seperti; (a) ia telah menjadi hujan sekarang. Ia menderas dari pojok ke pojok ruangan menarikan hujan. (b) kini Ayesha telah memiliki buah dan mawar hujan.

Komentar