Untuk lelaki yang sempat menjadi poros tempat dunia saya
berputar, lelaki yang beberapa kali menjadi alasan tulisan saya tercipta. Lelaki
yang ketika tersenyum memunculkan lubang di salah satu pipinya, dan saya suka
melihatnya. Saya tidak tahu kamu bersedia membacanya atau tidak, tapi saya tahu
satu hal, saat kamu bersedia membacanya kamu akan segera paham kalau tulisan
ini untuk kamu. Gimana sih caranya memulai? Saya tidak lihai dalam hal memulai
lebih dulu, saya terlalu kaku untuk hal tersebut. Saya tidak ahli untuk
basa-basi, saya lupa rasanya menulis. Sejak hari itu percaya atau tidak, saya
berhenti menulis. Saya tidak tahu kemana semangat menulis saya pergi, semuanya
menguap begitu saja.
Ini tulisan pertama sejak yang terakhir kali, entah ini
tulisan keberapa saya untuk kamu, saya tidak sedang mikirin kamu. Saya hanya
ingat sesuatu, mungkin itu kamu. Kemarin malam saya mimpi kamu, mimpi yang
anehnya seperti kenyataan. Saya mimpi ketemu sama kamu, dan saya bersyukur itu hanya
mimpi. Karena saya tidak tahu harus bagaimana jika mimpi itu jadi nyata, jangankan
bertemu untuk berhubungan lagi dengan kamu pun saya belum siap. Kamu tahu? Ada beberapa
hal yang tidak bisa saya jelaskan sama kamu, saya juga tidak tahu hal apa yang
harus saya jelaskan lagi. Saya rasa sejak hari itu tidak ada lagi yang perlu
saya jelaskan ke kamu, saya rasa semuanya sudah sangat jelas.
Saya tahu, saya ini egois. Saya pengecut, melarikan diri
seolah saya ini salah. Saya tahu saya jahat sama kamu, saya tidak memberikan
sedikit pun celah untuk kamu ikut menjelaskan apa yang kamu rasakan. Saya terlalu
takut dengan semua kemungkinan yang ada. Hingga saya memutuskan untuk pergi,
menutup semua akses kamu untuk berhubungan dengan saya. Saya minta maaf, saya
terpaksa melakukannya. Saya sengaja tidak membalas pesan kamu, saya sengaja
tidak mengangkat telfon dari kamu, semuanya saya lakukan dengan sengaja dan
kesadaran penuh. Bukankah ketika pamit untuk pergi saya katakan bahwa saya
butuh waktu.
Kalau kamu tanya kenapa saya memilih berhenti dan pergi,
saya hanya punya satu alasan. Seseorang pernah berkata seperti ini: “Hidup
bukan perihal tinggal, namun pergi menemukan jawaban-jawaban”. Untuk itu
saya memilih pergi dari kamu, karena saat berada di ruang yang ada kamu, saya
tidak menemukan jawaban untuk tetap tinggal. Bukankah hidup bukan perihal
tinggal, namun pergi menemukan jawaban-jawaban.
Saya sudah lama berdamai dengan perasaan saya, perasaan
ke kamu juga sudah mulai pudar, hanya kadang sesekali saya rindu kamu. Saya ingin
berteman baik sama kamu, hanya saja saya butuh waktu. Saya butuh waktu untuk
terbiasa, saya tidak tahu bagaimana harus menjelaskan ke kamu, yang pasti saya
tidak bisa berhubungan dengan kamu sampai batas waktu yang belum bisa saya
tentukan. Saya harap kamu bisa mengerti dengan keputusan saya ini. Saya juga
minta kamu berhenti untuk menghubungi saya, karena saya rasa percuma
melakukannya. Saya tidak akan memberi respon apapun, saya selalu merasa
bersalah setiap kali mengabaikan kamu, jadi saya harap kamu berhenti
melakukannya.
Saya ingin merdeka, saya ingin menjadi diri saya didepan
kamu. Bukan berarti selama ini bukan diri saya, saya hanya tidak ingin lagi berlakon
baik-baik saja padahal tidak, saya ingin benar-benar baik-baik saja dihadapan
kamu suatu saat nanti. Jadi saya mohon jangan desak saya untuk bisa seperti itu
saat ini, saya butuh waktu untuk bisa melakukannya, saya tidak ingin
berpura-pura lagi. Biarkan waktu yang akan menuntun saya kembali lagi.
Dari saya penulis abal-abal yang kerap menjadikan kamu
objeknya, terima kasih sudah pernah menjadi alasan saya menulis. Saya tidak
bisa janji ini jadi tulisan terakhir saya untuk kamu, tapi saya janji sama kamu
kalau saya tidak akan berhenti untuk tetap menulis. Sekali lagi terima kasih
dan maaf.
Komentar
Posting Komentar