Untuk, masa lalu.
Apa kabar, kamu? Ku harap kamu baik-baik saja,
semoga setelah memilih beranjak pergi bahagia baru menyertai langkahmu. Jangan salah
paham dulu, aku hanya sekedar ingin menyapamu saja. ini bukan apa-apa, aku
tidak sedang mengajakmu mengingat ulang lembaran kisah lalu. Kamu tahu, aku
kerap tersenyum masam mengingat tentang apa yang pernah terjadi pada kita. Apa
dulu aku memang senekat itu? Meyakini sendiri bahwa kamu juga menyayangiku,
meyakini perhatian-perhatian yang kamu berikan juga karena kamu merasakan hal
yang sama, meyakini bahwa aku tidak sedang jatuh sendirian. Apa menurutmu aku
bodoh? Ah mungkin saja aku bodoh, tapi menurutku ketika kamu menyayangi
seseorang, melakukan hal bodoh adalah sebuah kewajaran. Kamu akan melakukannya
di luar kendali logikamu, kamu hanya mampu menggunakan perasaan yang kata
orang-orang waras adalah kebodohan.
Lantas kemana sadarku sembunyi saat aku begitu
meyayangimu? Mengapa logika tidak berusaha meyadarkan aku yang linglung
diterjang badai perasaan. Ku rasa aku tidak sekeras kepala itu, mana mungkin
aku bersedia menjadi angan tanpa di inginkan? Dulu saat kita masih bersama, aku
takut untuk sekedar mempertanyakan kita. Aku takut setelah bertanya kamu merasa
harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan setelah itu kamu akan pergi
meninggalkan aku karena merasa terbebani. Maka dari itu aku selalu
menyembunyikan perasaanku, yang pada akhirnya hanya melukai aku sendiri.
Terlebih ketika kamu memilih beranjak pergi, yang juga menyadarkan aku bahwa
memang benar hanya aku sendiri yang nekat meyakini hal-hal semu. Hal-hal tabu
yang beranak pinak dalam daftar inginku menjadi senjata yang akhirnya membunuhku
perlahan-lahan.
Apa sekarang aku boleh bertanya tanpa takut kamu
akan pergi? Karena pada kenyataannya kamu memang sudah tidak disini, kamu sudah
jauh melangkah pergi. Aku ingin bertanya apa kamu tidak pernah sedikitpun memiliki
rasa yang sama terhadapku? Apa aku tidak pantas untuk diperjuangkan kembali?
Lalu apa arti perhatian-perhatianmu selama ini? Aku tidak pernah menyalahkanmu
atas semua yang terjadi, mungkin saat itu kamu hanya ingin berteman tetapi aku
yang menyalahartikan semua yang kamu berikan. Maaf jika pergimu karena salahku,
maaf untuk tiap sesal yang mungkin kerap memberatkan langkahmu. Kini pergilah
kemana pun yang kamu inginkan, aku sudah ikhlas tentang apa yang pernah membuat
sesak didada. Tidak ada senyum terpaksa saat ini, yang ada hanya senyum bahagia
karena ternyata mengikhlaskan adalah kebahagiaan yang sejati. Untukmu, terima kasih atas beberapa waktu yang sempat
kita habiskan bersama, terima kasih karena kehadiranmu yang sesaat itu
memberikan pelajaran berharga dalam hidupku, terima kasih sudah bersedia
menjadi singgah yang tak pernah dapat ku sanggah.
Dari, aku masa lalu yang pernah begitu keras kepala mencintaimu.
Komentar
Posting Komentar