Tekanan
yang sangat kuat dari pihak penguasa yaitu melarang pembongkaran kebohongan dan
penindasan dalam bentuk apapun justru dimanfaatkan oleh sekelompok penyair untuk
menyuarakan gagasannya tentang hak dan kewajiban. Media yang dimanfaatkan oleh
sekelompok penyair salah satunya adalah puisi. Dari seluruh puisi-puisi ciptaan
Wiji Thukul, ia memaparkan secara gamlang protes-protes terhadap masa
pemerintahan pada masa itu. Seperti pada puisi “Bunga dan Tembok” yang memiliki
kedekatan dengaan fenomena kepemimpinan yang otoriter pada masa Orde Baru.
Puisi
berjudul “Bunga dan Tembok” karya Wiji Thukul ini mengupas kehidupan rakyat
kecil yang hidup di bawah kepemimpinan otoriter pada masa Orde Baru. Rasa-rasa
pahit kemiskinan dan penderitaan terasa begitu pilu terurai melalui untaian
kata yang Wiji tulis. Ia berbicara dengan bahasa sederhana, yang dengan mudah
dapat dimengerti oleh orang awam sekalipun yang bahkan belum pernah berkenalan
dengan puisi. Ia bernyali dan jujur dalam mengungkapkan apa yang ia lihat,
dengar, ucapkan, dan rasakan. Wiji, seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik
(PRD) yang dituduh subversif oleh pemerintah Orde Baru, hinggap dari satu
tempat ke tempat lain, pada masa-masa awal sebelum Reformasi. Thukul harus
bersembunyi, berpindah-pindah kota, karena menjadi buronan tentara. Puisi-puisi
perlawanan dan demonstrasi yang ia gawangi dianggap penguasa Orde Baru sebagai
ancaman serius.
BUNGA DAN TEMBOK
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
Di manapun – tirani harus tumbang!
(1)
Puisi berjudul
“Bunga dan Tembok” karya Wiji Thukul ini mengibaratkan rakyat kecil sebagai bunga, yang tumbuh tanpa diharapkan
oleh para pemilik rumah. Bunga yang dicabut dan disingkirkan dari tanahnya
sendiri. Dan dalam puisi ini mengibaratkan sang penguasa sebagai tembok, yang menggusur bunga dari
tanahnya sendiri.
(2)
Puisi ini juga
menjadi sebuah tonggak perjuangan. Wiji Thukul memberikan semangat untuk terus
bergelora di masa depan, merongrong keangkuhan tembok penguasa melalui bait “Tapi di tubuh tembok itu, telah kami sebar
biji-biji”.
Puisi “Bunga dan Tembok” memperlihatkan kebobrokan
pemerintahan pada masa itu, kezaliman orang-orang yang memiliki tahta tinggi di
pemerintahan yang melakukan segala cara untuk membuat para aktivis-aktivis
membungkam suaranya, suara untuk meminta keadilan kepada pemerintah. Sebuah
rezim yang membawa banyak penderitaan fisik dan luka batin; tidak saja bagi
Wiji Thukul melainkan juga bagi bangsa Indonesia.
Puisi Wiji Thukul yang ditulis dengan bahasa yang
sederhana dapat dengan mudah dipahami oleh banyak orang. Oleh karena itu
pembaca dapat dengan mudah menangkap nilai yang ingin dikomunikasikannya, yakni
nilai-nilai kemanusiaan. Puisi-puisinya
merupakan monumen yang mengusik ingatan kita akan sebuah masa silam yang kelam
dan akibatnya masih kita rasakan hingga kini.
Nb: Bagian Tugas Mata Kuliah Kritik & Esai
Komentar
Posting Komentar