Aku kira kita baik-baik saja, namun
nyatanya tidak. Langit senja tak cerah sore itu, awan hitam menggantung tanpa
beban, seakan mengerti kegelisahan hati dua anak manusia yang sedang di landa
jutaan tanya. Di sudut ruang ini, ku perhatikan kau yang sedang memandangi
hujan sembari memegang cangkir kopi yang kian dingin, tak berniat menyesapnya
sedikitpun. Kau, seorang yang ku kenal sebagai tuan pecandu kopi, apa gerangan
yang sedang membebani pikiranmu? Hingga kopi pun tak mampu menarik perhatianmu.
Aku lemah perihal membacamu, bahkan setelah bertahun-tahun mempelajarinya, aku
masih menerka ejaan mana yang benar. Kau rumit, tetapi aku selalu ingin
memahamimu lebih. Tuan, waktu yang kita miliki bukanlah waktu yang singkat,
jejak yang tertinggal tidak sedikit, warna-warna yang kita goreskan pun tidak
hanya hitam-putih. Kita melalui banyak hal bersama, kau mengenalku lebih dari
aku mengenal diriku sendiri, tetapi tidak begitu denganku, aku bahkan tidak
mengenalmu seperti kau mengenal diriku.
Kau adalah alasanku untuk terus menulis,
kau ingin aku menjadi pemberani, mengalahkan rasa takut yang siap membunuhku
sembari menodongkan ketakutan-ketakutan yang tak pasti. Kau yang selalu
menggenggam erat jemari ini, kala ragu menjadikan aku sosok yang pesimis. Kau yang
selalu merangkul setiap ingin, mengajak untuk meraih mimpi-mimpi. Setelah sejauh
ini, apa mungkin aku berhenti? Aku kalah dalam membaca pertanda, kepergianmu. Padahal
saat itu bahkan angin berbisik, bahwa langkahmu mulai surut. Tatapmu sudah tak
teduh lagi, senyummu sudah tak sehangat dulu, membeku dalam panas sekalipun.
Dari sekian jutaan kata, beri aku alasan
yang tepat untuk mampu menerima pergimu. Ini tak semudah ucapan perpisahan, kau
sendiri tahu benar itu. Barisan kata dalam paragraf tidak akan mampu
menghapusmu begitu saja, torehan luka yang terukir mungkin akan hilang seiring
waktu menyembuhkan, namun kau juga pasti tahu bahwa bekas yang tertinggal tidak
akan begitu saja hilang. Bukan perih perpisahan yang memberatkan langkahku
nanti, tapi kenang pada lembar kisah kita yang mungkin kerap membuat langkahku
terhenti. Kau mungkin akan menjadi kenang terindah yang menyakitkan untuk
diingat. Aku akan ada di malam di mana merindukanmu akan membuat dadaku sesak. Dan
ketika hujan, kau menjelma rintik yang menjatuhi kenang demi kenang.
Apakah harus berakhir seperti ini? Bahkan
hujan saja memberi aba-aba ketika ingin jatuh, tetapi kenapa kau memilih
berhenti tiba-tiba, tuan? Lagi-lagi aku lemah membaca pertanda, padahal melalui
angin kau menitipkan ingin.
Pekanbaru, 25 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar