Selamat
datang, Desember. Kotaku sedang musim hujan, masih sama seperti tahun-tahun
sebelumnya. Langitnya kerap berwarna abu-abu dan muram, langitnya juga masih
senang menjatuhkan tetes-tetes air. Entah ini sudah desember tahun keberapa, aku
enggan mengingatnya. Bagiku desember tetaplah desember, bulan penuh dengan genangan kenangan pahit. Kenangan yang masih saja
dengan kejamnya memaksaku untuk terus membencimu, padahal apa yang salah dengan
desember? Aku bingung menjabarkan alasannya, atau mungkin aku memang tidak
pernah memiliki alasan. Entahlah. Hanya karena dia selalu memberikan kenangan
buruk di setiap desember setiap tahunnya, aku jadi membencimu. Kenangan itu
seperti kaset rusak yang terus berputar tanpa henti, memutarkan setiap adegan-adegan
pahit, berulang-ulang hingga membuat dadaku sesak setiap ingatan itu kembali.
Desember, seperti alarm yang sudah terjadwal sangat rapi untuk sekedar
mengingatkanku perihal apapun tentangnya.
Desember, maaf jika lagi-lagi diawal
kehadiranmu aku sudah merutuki setiap jejaknya. Aku tidak ingin membencimu,
namun desember masih (selalu) mengingatkanku perihal tentangnya. Bahkan masih
terekam dengan sangat jelas di ingatanku perihal apapun tentangnya. Dia, seseorang
yang pernah begitu hebatnya ku sayangi dan menyayangiku. Entah harus kusebut
apa, kini. Pria yang pernah menjadikan aku semestanya. Pria yang paling
mengerti dan dengan mudahnya memahami perihal tentangku. Pria yang
kedewasaannnya dalam bersikap menjadikan pesona tersendiri yang dimilikinya.
Dia bukan pria tampan, namun senyumnya mampu menenangkan. Aku masih mengingat
tempat pertama kali kami bertemu, aku
masih ingat kali pertama dia menyatakan perasaannya, aku masih ingat penyebab
pertengkaran hebat kami yang pertama, aku masih ingat bagaimana usahanya
meredakan tangisku, aku masih ingat caranya menjadikanku prioritas, aku masih
ingat ketika rindu menjadikanku rewel seperti anak kecil dan dia akan dengan
mudah meredamnya, dan masih banyak ingatan-ingatan lainnya.
Lihatlah,
kenangan-kenangan itu bahkan masih tersimpan rapi dalam ingatanku. Lantas,
bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Barangkali kepergiannya yang tiba-tiba
dan tanpa pamit itulah yang menjadi alasan terbesarku membenci desember.
Padahal saat itu kami sedang baik-baik saja. Aku tidak menyalahkannya, aku
tidak menyalahkan jarak yang ada, aku hanya benci rindu-rindu yang kerap hadir
tanpa permisi selalu berhasil membawa kembali ingatan-ingatan itu. Desember,
izinkan aku berdamai dengan perasaanku. Biarkan tetes-tetes air yang jatuh
meluruhkan setiap benci yang ada, dan memudarkan setiap ingatannya. Karena aku
tahu, mustahil untuk melupakan seutuhnya. Bagaimanapun usahaku melupakan,
kenangan akan tetap berada pada tempatnya. Kenangan sudah memiliki sudut ruang
sendiri dalam ingatan.
Desember,
aku tak ingin berjanji. Karena, aku
takut tidak bisa menepatinya. Tapi aku akan berusaha bahwa ini akan jadi tahun terakhir aku merutuki bulan
kelahirannya. Aku lelah membenci sesuatu yang tidak bersalah, bukankah aku juga
berhak bahagia? Lalu, biarkan aku ikut berbahagia melepaskannya. Entah tulisan ini sampai di tepi
ranjangmu, atau hanya sebatas mengambang di udara. Tepat di hari ulang tahunmu
10 Desember, aku hanya ingin mengucapkan selamat mengulang hari kelahiran, Mas. Doa baik selalu untukmu, semoga di umur yang tidak lagi muda ini, kamu
bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Jangan cepat puas dengan apa yang
sudah kamu dapatkan, jangan terlalu sering mengeluh. Jangan bosan untuk terus
memperbaiki diri, tetap jadi kebanggaan Ayah dan Ibu. Semangat kerjanya dan
tetap jaga kesehatan. Berbahagialah dengan dia yang saat ini genggamannya ingin
kamu jaga, dan dia yang senyumnya selalu menjadi alasan bahagiamu.
Terima kasih sudah pernah
bersedia membagi waktu denganku, Desember. Happy 23, Mas.
Komentar
Posting Komentar